Rabu, 06 Maret 2019

Dana Desa Bukan Dari Jokowi

Pengucuran dana desa bukanlah keinginan dan kebijakan pemerintahan pemerintahan Jokowi, tapi adalah amanat Undang Undang tentang Desa yang disahkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tanpa UU tersebut, dana desa tidak bisa dikucurkan.
"Dana desa yang dialokasikan Rp 1 miliar per desa adalah amanat dari Undang-Undang Desa yang disahkan tahun 2013, di era pemerintahan SBY," tegas ekonom Rizal Ramli kepada wartawan di Jakarta, senin (25/2).
Undang-undang desa tersebut jelas Rizal Ramli, diperjuangkan oleh asosiasi-asosiasi kepal desa, terutama parade Nusantara dengan ketua umumnya Sudir Santoso dan Ketua Dewan Pembina Rizal Ramli sendiri yang diperjuangkan sejak tahun 2011.
"Kemudian pembahasan undang-undang tersebut banyak dibantu oleh ketua DPR Marzuki Alie ketika itu," ungkap Rizal Ramli.
Rizal Ramli yang juga bekas Menko Kemaritiman Pemerintahan Jokowi tersebut menilai bahwa selama 4 tahun pemerintahan yang dipimpin Jokowi sekarang ini, tebaran optisme Jkowi makin lama semakin memudar. Bahkan dalam banyak hal harapan akan kehidupan yang lebih baik makin memudar.
"Ekonomi stagnan 5 persen, daya beli masyarakat merosot, pengurangan angka kemiskinan terendah sejak reformasi. Joko Widodo hanya mengurangi 450 orang miskin per tahun. Bandingkan dengan di era Presiden Gus Dur yang berhasil menurunkan kemiskinan 5,05 juta orang pertahun, Habibie 1,5 juta orang per tahun, Mega 570 orang pertahun dan SBY 840 orang per tahun," ungkap Rizal Ramli.
Rendahnya penurunan kemiskinan di masa Presiden Widodo dinilai Rizal Ramli karena garis ekonominya yang meninggalkan Trisakti, terutama karena kebijakan impor yang ugal-ugalan dan penghapusan subsidi listrik 450 VA dan 900 VA.
"Ini sangat memukul daya beli golongan menengah bawah dan di tambah pula risiko makro ekonomi Indonesia semakin meningkat selama 2 tahun terakhit. Boro-boro kedaulatan pangan tercapai, yang terjadi justru impor ugal-ugalan yang sangat merugikan petani," tegas Rizal Ramli.
Begitu juga kata Rizal Ramli di bidang kedaulatan keuangan. Boro-boro kedaulatan keuangan yang tercapai, justru utang yang semakin besar dengan yield yang merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Risiko makro ekonomi Indonesia meningkat 2 tahun terakhir dalam bentuk defisit neraca perdagangan (-8,57 USD tahun 2018) dan defisit transaksi berjalan (-9,1 milyar dolar AS pada quartal 4 2018). Ini defisit neraca transaksi berjalan yang paling parah atau terbukti sejak 4,5 tahun terakhir.
"Kegagalan Jokowi untuk mencapai kedaulatan pangan dan kedaulatan keuangan terjadi karena tidak ada tidak ada konsistensi antara tujuan strategi kebijakan dan personalia. Tujuan untuk mencapai swasembada pangan dikhianati dengan impor ugal-ugalan dan penunjukan pejabat yang doyan rente," tegas Rizal Ramli.
Demikian juga dalam hal tujuan kemandirian keuangan, dikhianati dengan kebijakan pinjaman luar negeri yang jorjoran dan menunjukkan pejabat keuangan yang doyan memberikan yield import beli tertinggi yaitu 2-3% diatas negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia seperti Filipina dan Vietnam. (sam)

Tidak ada komentar: